Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Membentuk Kepribadian
Faktor Keluarga
Umar bin Abdul Aziz melewati masa
kanak-kanaknya di Kota Madinah An-Nabawiyah. Kota yang dipenuhi dengan
aroma kenabian. Bagaimana tidak, pada saat itu masih banyak para sahabat
berjalan-jalan di kota yang dahulunya disebut Yatsrib ini, di antara
pembesar sahabat duduk-duduk di masjid mengajarkan ilmu yang mereka
miliki, dan rumah-rumah nabi pun masih meninggalakn jejak-jejaknya yang
mulia.
Umar bin Abdul Aziz tergolong anak yang
cerdas dan memiliki hapalan yang kuat. Kedekatan kekerabtannya dengan
Abdullah bin Umar bin Khattab, menyebabkannya sering bermain ke rumah
sahabat nabi yang mulia ini. Suatu ketika ia mengatakan kepada ibunya
sebuah cita-cita yang mulia dan menunjukkan jati diri Umar kecil, “Ibu,
aku ingin menjadi seorang laki-laki dari paman ibu.” Ibunya pun
menanggapi, “Sulit bagimu nak untuk meniru pamanmu itu.”
Terang saja ibunya mengatakan demikian, Abdullah bin Umar adalah salah seorang pembesar dari kalangan sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Ia merupakan salah seorang yang paling banyak meriwayatkan hadis nabi,
seseorang putera kesayangan dari orang yang paling mulia di masa Islam
setelah Nabi Muhammad dan Abu Bakar Ash-Shiddiq, seorang ahli ibadah
lagi mempunyai kedudukan terhormat, dan dicintai umat. Namun, Umar bin
Abdul Aziz tak patah semangat, ia memiliki jiwa yang tangguh sebagaimana
kakeknya Umar bin Khattab.
Ayah Umar bin Abdul Aziz adalah seorang gubernur di
Mesir. Suatu ketika ia mengirim surat ke ibu kota yang berisikan
mengajak anak dan istrinya untuk menyertainya di Negeri Mesir. Sang ibu
pun berkonsultasi dengan Abdullah bin Umar, kemudian Ibnu Umar
menasihatinya, “Keponakanku, dia adalah suamimu, pergilah kepadanya.”
Manakala Ummu Ashim hendak berangkat, Ibnu Umar mengatakan,
“Tinggalkanlah anakmu ini –Umar bin Abdul Aziz- bersama kami, dia
satu-satunya anakmu yang mirip dengan keluarga besar Al-Khattab.” Ummu
Ashim tidak membantah, dan dia meninggalkan anaknya bersama pamannya
tersebut.
Ketika sampai di Mesir, sang ayah pun menanyakan
perihal Umar bin Abdul Aziz. Ummu Ashim mengabarkan apa yang terjadi,
berbahagialah Abdul Aziz mendengar kabar tersebut. Ia mengirim surat
kepada saudaranya, Abdul Malik di Madinah agar mencukupi kebutuhan
anaknya di Madinah. Abdul Malik menetapkan seribu dinar setiap bulannya
untuk biaya hidup Umar bin Abdul Aziz. Setelah beberapa saat, Umar bin
Abdul Aziz pun menyusul ayahnya ke Mesir.
Demikianlah lingkungan keluarga Umar bin Abdul Aziz,
tumbuh di bawah asuhan pamannya yang saleh dan lingkungan Kota Madinah
yang dipenuhi cahaya dengan banyaknya sahabat-sahabat nabi. Di masa
mendatang sangat terlihat pengaruh lingkungan tumbuh kembangnya ini
dalam kehidupannya.
Kecintaan Umar bin Abdul Aziz Terhadap Ilmu Sejak Dini dan Hafalannya Terhadap Alquran Al-Karim
Umar bin Adbdul Aziz telah menghapal Alquran pada
usia anak-anaknya, ia sangat mencintai ilmu agama. Terbukti dengan
kebiasaannya berkumpul dengan para sahabat nabi dan menimba ilmu di
majlis mereka.
Ia sering menadaburi ayat-ayat Alquran sampai
menangis tersedu-sedu. Ibnu Abi Dzi’ib mengisahkan, “Orang yang
menyaksikan Umar bin Abdul Aziz yang saat itu masih menjabat Gubernur
Madinah, menyampaikan kepadaku bahwa di depan Umar ada seorang laki-laki
membaca ayat,
وَإِذَآ أُلْقُوا مِنْهَا مَكَانًا ضَيِّقًا مُّقَرَّنِينَ دَعَوْا هُنَالِكَ ثُبُورًا
“Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka di sana mengharapkan kebinasaan.” (QS. Al-Furqon: 13).
Maka Umar pun menangis sampai ia tidak bisa menguasai
dirinya, pecahlah isak tangisnya, lalu ia pun pulang ke rumahnya untuk
menyembunyikan hal itu.
Makna ayat ini adalah, ketika orang-orang yang
mendustakan Hari Kiamat itu dicampakkan di tempat yang sempit di neraka,
tangan-tangan mereka di belenggu ke leher mereka ‘mereka di sana mengharapkan kebinasaan’
Harapan binasa di sini sebagai ungkapan sebagai ungkapan penyesalan
mendalam dari orang-orang itu, karena sewaktu di dunia mereka menjauhi
ketaatand dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Abu Maudud mengabarkan, “Sampai berita kepadaku bahwa pada suatu hari Umar bin Abdul Aziz membaca,
وَمَاتَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَاتَتْلُوا مِنْهُ مِنْ قُرْءَانٍ وَلاَتَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلاَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak
membaca suatu ayat dari Alquran dan kamu tidak mengerjakan suatu
pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu.” (QS. Yunus: 61).
Umar bin Abdul Aziz pun menangis, sampai orang-orang
di rumahnya pun mendengar suara tangisnya. Ketika anaknya Abdul Malik
menghampirinya dan bertanya, “Wahai ayahanda apa yang terjadi?” Umar
menjawab, “Anakku, ayahmu ini tidak mengenal dunia dan dunia pun tidak
mengenalnya. Demi Allah wahai anakku, sungguh aku khawatir binasa. Demi
Allah wahai anakku, aku takut menjadi penghuni neraka.”
Ayat di atas menerangkan bahwasanya Allah mengetahui
segala sesuatu yang kita perbuat. Dan Umar bin Abdul Aziz dengan
kesalehannya dan jasanya yang banyak terhadap umat Islam khawatir kalau
ia menjadi penghuni neraka karena banyak berbuat salah. Lalu bagaimana
dengan kita?
Abdul A’la bin Abu Abdullah Al-Anzi mengatakan, “Aku
melihat Umar bin Abdul Aziz keluar di hari Jumat dengna pakaian yang
sudah usang. Pada hari itu ia naik mimbar Jumat dan berkhutbah dengan
membaca surat At-Takwir
“Apabila matahari digulung.” Ia mengatakan, “Ada apa
dengan matahari?” kemudian ayat kedua, “Dan apabila bintang-bintang
berguguran.” Sampai pada ayat “Dan apabila neraka Jahim dinyalakan dan
apabila surge didekatkan.” Beliau menangis, dan ketulusan tangisan
tersebut menyentuh kalbu jamaah yang hadir pada saat itu, akhirnya
mereka terenyuh dan ikut menangis.
Umar bin Abdul Aziz (Bagian 1)
Umar bin Abdul Aziz (Bagian 1)
0 komentar :
Posting Komentar